HALAMAN UTAMA

RAKYAT KECIL MASIH TERSISIH


MESKI DIHAMBAT APARAT, HALIJAH TETAP MERAMBAT 
Retribusi Yang Tumpang Tindih 
Para pedagang ikan di pasar Inpres Kalabahi
“Mari mama, bapak, beli ikan apaa...” demikian, sepenggal kalimat sebagai “obat penawar” hati dari para penjual (papalele) ikan dibeberapa pasar di pusat kota Kalabahi.


SUMUR digali, bukit ditimbuni. Yang miskin tersisi, yang kaya terus tersanjung. Begitu pula nasip yang dialami, Halija Marweki (50) salah seorang penjual ikan asal Desa Motombang, Kecamatan Teluk Mutiara, yang kesehariannya berprofesi sebagai penjual ikan (papalele) di Pasar Kerajaan (pasar lama, red).
Ketika disapa SUAR, Selasa, (28/12) lalu, Halija bersama sesama rekan papalelenya yang sedang sibuk dengan menawarkan jualan ikannya kepada setiap para calon konsumen yang melintas di hadapannya. Tak lama kemudian, Halija mulai berbagi cerita (curhat) kepada SUAR hingga kemudian, Ia, juga mengulas banyak hal tentang usahanya yang selalu di hambat Pemerintah Daerah (Pemda).
Halija, ibu 6 anak ini mengaku, hasil jualannya pernah di tahan aparat keamanan (Kodim 1622 Alor, red) karena berjualan di emperan toko Tiga Dara dan di beberapa ruas trotoar jalan. Ia, kemudian “dituntut” membuat surat pernyataan tertulis kepada Pemkab Alor melalui instansi terkait. Barulah kemudian, barang jualannya di kembalikan oleh aparat Kodim 1622 Alor. Dari tempat tersebut kini, Halijah berjualan di pasar kerajaan.
Betapa apes, nasib dalam hidup bagi Halija, dimana suatu waktu pernah dagangan (ikan jualannya, red) dibakar paksa oleh aparat keamanan. Namun, apa hendak dikata, anjing menggonggong kafila pun berlalu. Meski dihambat, Halijah tetap berjualan. Sebab, hanya dengan berjualan ikanlah keuntungan bisa diraihnya, demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin buruk.


Pasar Bersejarah Yang Terabaikan


Sepintas, mungkin sebagian orang berpikir bahwa apa yang dilakukan Halija Marweki (sebagai papalele ikan, red), adalah tindakan melawan hukum ala Pemerintah daerah. Tapi jika mendengar alasan, sesungguhnya mereka memiliki dasar historis (sejarah) yang cukup mendasar. Bagaimana tidak ? Sebab, pasar ikan ini adalah tempat yang dulunya dijadikan sebagai pasar kerajaan masa lalu yang juga sebagai pusat perdagangan masa kerajaan. Sehingga dasar historis (sejarah) itulah yang mestinya harus dipertahankan, meskipun suatu Kalabahi akan telah berkembang menjadi kota megapolitan.
Mengenai sikap Pemkab Alor melalui instansi terkait, Halijah bersama penjual ikan yang lain merasa kesal terhadap adanya sikap diskriminatif yang mereka terima. Betapa naifnya bila dibayangkan, penjual ikan selalu diusir dari tempat satu ke tempat lain. Tapi pemrintah daerah sendiri memberikan kesempatan kepada penjual pakaian yang tengah berjualan di trotoar, samping bangunan (Unit Dagang) milik Tiga Dara. Jujur, pemerintah tidak adil. Sebab, pengguna jalan pun merasa terganggu dengan adanya barang dagangan (pakaian-pakaian) mereka yang tergantung di sepanjang trotoar. Selain mengganggu kenyamanan pejalan kaki, areal ini juga merupakan “jantung” kota kalabahi yang harusnya bebas dari pandangan yang merusak mata para wisatawan yang berkunjung ke luar daerah ini.
“Pemerintah tidak adil. Kenapa kami diusir sedangkan dari tempat itu (emperan UD Tiga Dara dan trotoar jalan, red), penjual pakian diberi ijin. Jangan sampai Pemerintah dibayar khusus. Kalau masalah bayar retribusi kami juga bayar” kesal Halija Marweki.
Halijah mengaku, pekerjaan yang digelutinya sejak tahun 1983 ini sanggup menafkahi keluarganya meski keuntungan yang didapat tidak seberapa. Usaha yang diawalinya dengan modal Rp 50 ribu tersebut telah menolong tiga anaknya hingga menyelesaikan pendidikan menengah atas dan lainnya yang masih bergelut di bangku pendidikan dasar. Bahkan, sebidang tanah pun Ia beli dan sebuah rumah permanen dibangunnya hanya dari hasil berjualan ikan.
Namun, seiring bergantinya tahun, penghasilannya pun ikut perlahan berubah. Awalnya dalam sehari, Halijah mampu meraih keuntungan ratusan ribu rupiah, kini merosot hanya Rp 10 ribu rupiah per hari. Perubahan itu bermula pada tahun 2005. Saat dimana bermunculan para papalele (penjual ikan), ditambah lagi dengan adanya penjual ikan keliling (pagandeng, red). Tentu hal itu sangat Ia sadari bahwa, memang kehidupan terkadang menuntut kita untuk berkerja apa saja. Sehingga Ia enggan menyalahkan ketika banyak bermunculan papalele-papalele ikan yang lain. (cr, arta)

Tidak ada komentar: