Selasa, 27 September 2011

Empat Desa Dambakan Air


Empat Desa Dambakan Air
Gudang sebagai simbol adat istiadat kab.Alor

Kupidil, SUAR – Listrik dan jalan merupakan kebutuhan mendasar setelah peradaban manusia berkembang. Namun tidak bagi air bersih. Air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat tergeser. Sehari tanpa air akibatnya lebih fatal bila sehari tanpa makanan.
Desa Kupidil, Desa Lawahing, Desa Otvai dan Desa Alila Selatan merupakan 4 desa di pegunungan Kabola yang sampai saat ini belum menikmati air bersih bahkan keadaan itu telah dialami bertahun-tahun. Padahal kebutuhan air bersih di Kota Kalabahi disuplai oleh desa-desa yang telah disebutkan di atas. Sehingga sungguh ironis kalau desa-desa tersebut mengalami kekurangan air bersih.
Kondisi tersebut diperparah oleh tidak adanya pelayanan air bersih oleh PDAM ke desa-desa tersebut selama ±4 tahun. Sehingga bak-bak penampung yang dulunya dimanfaatkan untuk menampung air dari PDAM hanya berfungsih ketika musim hujan tiba. Namun, karena bak-bak tersebut menganggur pada musim kemarau, maka tidak sedikit bak penampung yang retak sehingga harus ditambal agar dapat menadah air hujan pada musim hujan.
Menyadari akan kekurangan air, masyarakat ke-4 desa menyianyati dengan mengambil air dari Kalabahi menggunakan kendaraan. Namun adalah mudah bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi. Sedangkan yang tidak memilikinya, maka satu-satunya cara adalah menggunakan transportasi umum atau menggunakan jasa ojek.
Kepala Desa Kupidil, Onesimus Maoulaka dan Ketua Badan Permusyarawaratan Desa (BPD) Kupidil, Hermanus Awalaa belum lama ini mengatakan, khusus di Desa Kupidil, masyarakat menadah air di Hingyele. Perlu diketahui bahwa di Hingyele tersebut debit airnya sangat terbatas. Bayangkan saja, berdasarkan pantauan, airnya berkapur dan jatuh menetes sedikti demi sedikit dari kuncup batu yang menggantung. Tetesan itulah yang ditadah oleh masyarakat di Desa Kupidil untuk keperluan air bersih. Karena debit airnya terbatas, maka untuk mendapatkan 5 liter air bersih saja waktu yang diperlukan mendekati 1 jam. Selain itu, untuk mendapatkan kesempatan menadah air masyarakat harus rela mengantri berjam-jam karena semua masyarakat Desa Kupidil menjadikan Hingyele sebagai satu-satunya tempat di mana air bersih diperoleh.

Utamakan Air

Keprihatinan terhadap kesulitan air bersih ke-4 desa di atas telah lama dikeluhkan masyarakat. Namun sejauh ini, keluhan-keluhan tersebut sama sekali tidak mendapat tanggapan. Padahal, menurut Hermanus Awalaa, setiap memasuki moment-moment Pemilu Legislatif atau PemuliKada, masyarakat selalu dijanjikan oleh orang-orang tertentu bahwa kebutuhan dasar masyarakat akan diupayakan solusinya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun setelah terpilih, pejabat-pejabat itu seakan melupakan janji yang pernah disampaikannya.
Kamis, (18/08/2011) di Desa Kupidil, Ikatan Mahasiswa Kepala Burung (IMKB) memfasilitasi pertemuan 4 Kepdes yang mengalami persoalan yang sama yakni Onesimus Maoulaka sebagai Kepdes Kupidil;  Kepdes Lawahing, Yohanis Outang; Kepdes Otvai, Alelang; dan Kepdes Alila Selatan, Dahlan Umar untuk menyesuaikan kebutuhan mendasar ke-4 desa yang belum diperhatikan pemerintah. Dari pertemuan tersebut disepakati 3 kebutuhan dasar yang secara bersama dialami oleh masyarakat ke-4 desa. Ke-3 kebutuhan dasar tersebut adalah air bersih, listrik dan jalan raya. Namun, lanjut Hermanus, dari ketiga kebutuhan dasar tersebut, air bersih disepakati untuk diprioritaskan. Perlu diketahui, sumber mata air yang disepakati untuk dimanfaatkan adalah mata air yang berada di dekat omtel Desa Otvai. Kini, yang menjadi persoalan adalah bagaimana air tersebut dapat sampai ke rumah-rumah penduduk setempat. Menurut Hermanus, persoalan ini segera akan disampaikan kepada pemerintah untuk diatasi. cha

Senin, 26 September 2011

Dewan Adat Berencana Gugat Kementrian Kehutanan RI ?


Dewan Adat Berencana Gugat Kementrian Kehutanan RI ?

Sumber Mata Air Panas Tuti Adagai di Kecamatan Alor Timur Laut

Serenglang, SUAR – Kebebasan masyarakat adat dalam memanfaatkan tanah ulayat telah lama dibatasi oleh pemerintah. Sikap pemerintah tersebut memantik sejumlah reaksi dari masyarakat adat yang sebagian wilayahnya diklaim menjadi hutan kawasan. Oleh sebagian orang, keresahan masyarakat seusia dengan pengkaplingan sepihak yang dilakukan pemerintah khususnya kementrian kehutanan terhadap hak ulayat.
Dalam perkembangannya, eksistensi kebijakan sepihak tersebut mulai terganggu oleh kesadaran masyarakat adat yang terus meningkat. Jika ditilik, kesadaran tersebut tidak hanya dilatarbelakangi oleh pendidikan tetapi lebih diakibatkan oleh situasi sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Masyarakat telah gerah dengan batasan-batasan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pemanfaatan hak ulayat. Sebagai misal, untuk menebang pohon di lahan miliknya, masyarakat yang bersangkutan harus memperoleh izin dari pihak berwajib jika tidak ingin berlarut-larut dalam urusan hukum. Ironisnya lagi, tidak sedikit pemukiman masyarakat yang masuk dalam hutan kawasan. Sehingga sewaktu-waktu masyarakat di wilayah yang diklaim pemerintah dapat dievakuasi.
Berdasarkan pemikiran itu, sebagai pemilik ide dasar, Pdt. Philipus Tande dan Marthen Maure, SH, membentuk Forum Masyarakat Adat di Kecamtan Alor Timur Laut (ATL). Lewat panitia, Forum Masyarakat Adat ATL akan melakukan Temu Kampung Masyarakat Adat (Tekad) Kabupaten Alor pada tanggal 10 september di Tipiting, Desa Air Mancur, Kecamatan ATL. Kegiatan yang akan dibuka oleh Bupati Alor, Drs. Simeon Th. Pally itu akan diikuti oleh seluruh tokoh adat sekabupaten Alor.
Menyangkut Temu Adat Masyarakat Kampung Kabupaten Alor itu, Pdt. Philipus Tande dan Ketua Panitia, Abdon Frare, menghimbau kepada seluruh tokoh–tokoh adat di Kabupaten Alor untuk mengikuti Temu Kampung Masyarakat Adat yang akan dilaksanakan itu. Sebab, selain memperkuat solidaritas masyarakat adat, kebijakan-kebijakan strategis dapat dihasilkan bila semua tokoh adat turut berpartisipasi. Sasaran kegiatan ini, lanjutnya, khusus membahas strategi dalam menyatukan konsep bersama yang nantinya dijadikan rekomendasi kepada Kementrian Kehutanan. Intinya adalah menuntut Kementrian Kehutanan agar mengembalikan hak ulayat kepada masyarakat.
Selain itu, secara terpisah, Marthen Maure,SH menjelaskan, bahwa mekanisme penetapan hak ulayat saat itu tidak melalui persetujuan dewan adat. Oleh sebab itu, Temu Kampung Masyarakat Adat akan menggunakan celah itu untuk menuntut Kementrian Kehutanan agar dapat mengembalikan hak ulayat masyarakat adat. Setelah dikembalikan, maka dewan adat akan menyepakati (kesepakatan di tingkat suku) areal-areal mana yang akan dijadikan sebagai hutan kawasan.  Namun sekiranya perjuangan ini tidak digubris, maka temu kampung masyarakat adat akan menempuh jalur hukum. cha

DIDUGA Rp.11,4 MILYAR PENYEBAB DISCLAIMER DUA KALI Para Pejabat Saling Menuding


Kalabahi, SUAR – Setelah pada Tahun Anggaran (TA) 2009, kali ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTT menolak memberikan pendapat (disclaimer of opinion) terhadap pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Alor TA 2010. Dari seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD, temuan paling besar terdapat pada tiga SKPD yakni Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Dinas Pendapatan dan Keuangan Aset Daerah (PKAD) dan Sekretariat Dewan(Sekwan).

Tahun 2009 sebagai tahun pertama “disclaimer” adalah wajar. Namun yang mengherankan adalah ketika BPK kembali menghadiahkan “disclaimer” terhadap pengelolaan keuangan daerah pada TA 2010. Kabupaten Alor kembali terjatuh pada lubang yang sama. Yang menjadi pertanyaannya adalah apa penyebab “disclaimer” hingga masuk kepada kali kedua?
Salah satu sumber yang tidak ingin dikorankan namanya mengemukakan, penyebab “disclaimer” adalah Rp.11,4 miliard lebih. Rp.11,4 miliard lebih adalah kas daerah yang tercatat di rekening bank yang telah digunakan oleh sejumlah SKPD namun belum melaporkan ke dinas PKAD untuk selanjutnya dicatat dalam Buku Kas Umum Daerah (BKUD) TA 2007/2008 untuk disertakan dalam pembahasan anggaran bersama DPRD untuk dimatikan kasnya atau ditutup bukukan.
Yang mengherankan bagi sumber tersebut, selisih kas pada BKUD ini sudah berjalan selama 4 TA. Namun pemerintah dalam hal ini Inspektorat Daerah (Irda) belum bisa menjelaskan pemanfaatan anggaran tersebut. Perlu diketahui, pemanfaatan anggaran itu dikelolah oleh sejumlah SKPD namun SKPD-SKPD tersebut belum menyampaikan laporan realisasi penggunaan anggaran.
Selisih yang terjadi ini, baginya, bukan sekedar kesalahan administrasi antara lain perjalanan dinas saja tetapi lebih dari itu anggaran tersebut terindikasi telah terjadi penyalahgunaan dalam implementasi program di setiap SKPD. Hal ini dibuktikan dengan sering terjadinya keterlambatan dalam penyampaian laporan penggunaan anggaran pada setiap tahunnya.
Sumber tersebut juga membeberkan bahwa ada 4 kemungkinan predikat yang akan diberikan oleh BPK kepada setiap kabupaten/kota dalam pemeriksaan keuangan yakni 1, Tidak Wajar (TW) 2, tidak memberikan pendapat (disclaimer of opinion), 3. Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan yang terakhir adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dan tentunya kita semua berharap, kalau WTP dapat disandang oleh Kabupaten Alor.
Kembali kepada Irda, sejauhmana audit yang dilakukan untuk mengungkap Rp. 11.4 miliard lebih pada TA 2007/2008, pasca rekomendasi BPK untuk melakukan audit di TA 2011 karena disclaimer akan terus terjadi apabila selisih Kas dalam BKUD belum dapat diklarifikasi oleh Irda. Oleh sebab itu, harapannya, dengan kejernihan hati Irda dapat mengungkapkan persoalan ini karena Rp.11,4 miliard lebih ini masih terkatung-katung menjadi anggaran siluman yang bergentayangan.

Pemimpin Baru Bertanggung Jawab??

Sebagaimana diketahui, Kepala Dinas (Kadis) PKAD pada tahun 2008 dijabat oleh Hopni Bukang. Perlu diingat, pada tahun itulah selisih Kas pada BKUD sebesar Rp.11,4 miliard lebih terjadi.
Ketika ditemui dikediamannya, Hopni Bukang menolak memberikan penjelasan terkait disclaimer. Baginya disclaimer bukan menjadi wewenangnya karena saat ini dirinya menjabat sebagai Asisten II bidang ekonomi dan pembangunan. Oleh sebab itu, Hopni Bukang menyarankan agar persoalan ini ditanyakan kepada Sekretaris Daerah (Sekda) atau kepada Asisten III bidang Administrasi. Sebab, kedua pejabat ini memiliki garis koordinasi langsung dengan Kadis PKAD sebagai Bendaraha Umum Daerah (BUD).
Menurut pengakuannya, pada saat meletakan jabatan sebagai Kadis PKAD tahun 2008, ada memory yang dibuat dan diberikan kepada bupati untuk selanjutnya diserahkan kepada kadis PKAD yang baru. Memory tersebut dijadikan sebagai referensi bagi Kadis PKAD yang baru dalam hal ini Drs. Urbanus Bella untuk menyelesaikan segala urusan yang belum dituntaskan. Termasuk di dalamnya Rp.10,4 miliard (Hopni tidak ingat jelas). Untuk memperjelas tentang besaran nilai anggaran yang dipermasalahkan, data yang diperoleh Suar dari sumber yang tidak ingin dikorankan namanya itu menyebutkan bahwa yang sebenarnya adalah Rp.11,4 miliar lebih. Kembali kepada Hopni, Hopni menegaskan bahwa uang sebesar itu telah keluar dari kas daerah sehingga hal itu dapat ditelusuri dokumennya di dinas PKAD.
Terkait dengan batas waktu klarifikasi terhadap temuan BPK, Hopni mengaku pernah dalam rapat bersama, bupati meminta dirinya bersama Godlief Sirituka, Bc.Kn (mantan kepala bagian keuangan) untuk membantu Kadis PKAD yang baru dalam menelusuri alur penggunaan anggaran tersebut. Namun dirinya dan Godlief Sirituka belum membantu Kadis PKAD dengan alasan kadis PKAD sampai saat ini belum meminta kesediaanya bersama Godlief Sirituka untuk menelusuri aliran anggaran tersebut. Oleh karena itu, sekiranya Hopni dan Godlief tidak mengetahui aliran anggaran tersebut, harapannya, Kadis PKAD harusnya mengundang Hopni dan Godlief agar duduk bersama untuk membahas persoalan aliran anggaran yang dipermasalahkan.
Menariknya, Hopni menambahkan bahwa kegiatan-kegiatan pemerintahan yang terdahulu tidak bisa dilemparkan kepada pemimpin terdahulu untuk menyelesaikannya. Baginya, kewajiban untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah wewenang dari pejabat sekarang. Pertanyaannya, apakah pejabat baru bertanggung jawab atas permasalahan ini? Simak edisi berikut media ini cha