HALAMAN UTAMA

Sabtu, 08 Oktober 2011

Bandara Kabir Bukti Pembangunan Monumental Pally-Tahir


Bandara Kabir Bukti Pembangunan Monumental Pally-Tahir
Lokasi Bandar Udara Kabir, Kecamatan Pantar
Impian masyarakat Pulau Pantar agar bisa terakses sarana transportasi udara nampaknya kian di pelupuk mata. Pada tahun 2012 mendatang, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Alor akan membangun sebuah bandar udara (Bandara) di Kabir, ibukota Kecamatan Pantar.

JIKA rencana ini berjalan mulus, Bandara Kabir bakal menjadi bangunan monumental Drs Simeon Th Pally-Drs Jusran M Tahir (Pally-Tahir) yang terus dikenang publik Kabupaten Alor karena dibangun pada masa pemerintahan mereka. Segala persiapan terkait pembangunan bandara telah disiapkan pemerintah setempat hingga ke Kementerian Perhubungan RI. Restu Gubernur NTT, Drs Frans Lebu Raya pun termaktub dalam Surat Keputusan (SK) Nomor BU.550/29/Dishub/2011, tertanggal 5 September 2011, berdasarkan surat permohonan Bupati Alor tentang penetapan lokasi Bandar Udara Kabir, Nomor 550.553/548/Dishubkominfo/VII/2011.

“Sudah dapat dipastikan akan dibangun pada tahun anggaran 2012 nanti,”tandas Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kabupaten Alor, Terince Mabilehi SH, menjawab pertanyaan wartawan di ruang kerjanya pekan lalu.

Terkait luas areal yang bakal digunakan sebagai lokasi pembangunan bandara, Terince menegaskan lokasi yang saat ini telah disiapkan pemerintah seluas 5000 meter X 1000 meter. Meski demikian Terince enggan mengomentari terkait areal bandara yang dinilai masih kurang dan dibutuhkan areal tambahan. Informasi yang dihimpun SUAR, menurut rencana pembangunan Bandara Kabir dengan pajang landasan 1200 meter dan lebar 100 meter akan dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan sistem tahun jamak yang akan dimulai pada tahun anggaran 2012 mendatang. Sesuai perencanaan, dana yang digelontorkan untuk pembangunan sarana tranportasi udara ini pun menembus angka Rp 61 milyar. Hasil survei menunjukan lahan yang digunakan pun kurang lebih mencapai 3000 meter X 500 meter. Kini Pemkab Alor hanya memiliki areal seluas 500 meter X 1000 meter. Itu berarti Pemkab masih memiliki devisit lahan seluas 200 meter X 500 meter. Sudah tentu lahan milik masyarakat dan sejumlah fasilitas umum yang telah dibangun di atasnya, harus turut dibebaskan demi pembangunan proyek ini.

Terince pun mengaku kalau saja lahan milik masyarakat Kabir saat ini memang tersedia. Survei awal pun telah dilakukan termasuk pemetaan lokasi, termasuk tanah-tanah milik masyarakat yang bakal dibebaskan bagi areal bandara. Tetapi dia lagi-lagi menolak berkomentar terkait berapa luas lahan milik masyarakat yang bakal dibebaskan untuk pembangunan proyek tersebut. Mantan Kabag Hukum Setda Alor ini pun memastikan kalau lahan milik masyarakat yang bakal dibebaskan pun telah disosialisasikan pada 9 Juli 2011 lalu dan masyarakat pun setuju untuk pembangunan bandara tersebut. Akan tetapi Terince pun membantah kalau keputusan memilih Kabir sebagai lokasi pembangunan bandar udara di Pantar, sarat muatan politis karena tidak tertutup kemungkinan kebijakan ini bakal memuluskan rencana Kabir menjadi ibu kota kabupaten, jika kelak niat masyarakat Pantar memekarkan diri dari menjadi daerah otonom terpisah dari Kabupaten Alor diluluskan Pemerintah Pusat. Menurut dia, peta Bandara Kabir telah masuk dalam data base Dirjen Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan RI, sebagai bandara yang akan dibangun pemerintah. Areal bandara yang ada saat ini pernah digunakan pada masa kolonial untuk pendaratan pesawat jenis cassa di Pulau Pantar. Berdasarkan hasil studi kelayakan tim dari Dirjen Perhubungan Udara, pun telah menyatakan layak untuk dibangun.

Terkait lokasi bandara, Camat Pantar, Sudirman Halung S.Sos yang dikonfirmasi terpisah via ponselnya, Kamis (22/9) lalu, belum dapat memastikan jumlah pemilik lahan seluas 500 meter X 2000 meter yang bakal dibebaskan untuk lokasi pembangunan bandara. Hal ini dikarenakan belum ada bukti kepemilikan berupa sertifikat oleh masing-masing pemilik lahan. Pendataan masih dilakukan bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Alor, untuk memastikan jumlah pemilik lahan, barulah dilakukan pembebasan. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya penolakan masyarakat terkait pemanfaatan lahan mereka untuk pembangunan bandara. Dikatakan Halung, sejumlah warga berkeberatan karena mereka menggantungkan hidup pada keberadaan lahan tersebut. (gustav)

Kamis, 06 Oktober 2011

Rumah Pemali Lakatuil – Bampalola Menyimpan Sejuta Misteri


Rumah Pemali Lakatuil – Bampalola Menyimpan Sejuta Misteri

Bila kita menengok pada data potensi pariwisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Alor, Bampalola terdaftar sebagai salah satu objek wisata budaya di Kabupaten Alor. Objek wisata budaya yang bisa menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) ini menampilkan Perkampungan Adat yang masih asli, Rumah Adat Lakatuil yang unik, dan upacara tahunan makan baru padi ala baloil yang mengandung sejumlah makna, sebagaimana yang diikuti juga media ini beberapa waktu lalu.

PERKAMPUNGAN Adat Bampalola terletak pada sebuah bukit, di Pegunungan Kabola, Kecamatan Alor Barat Laut (Abal). Ketinggiannya mencapai seribu kaki dari permukaan laut. Bampalola berasal dari dua buah kata, yakni Bam (bang) berarti rumah dan palola (palol) berarti Pemali, Bampalola berarti Rumah Pemali. Masyarakat sekitar punya kepercayaan dan tradisi hidup yang serasi dengan dengan alam. Tidak ada minum–minuman keras di sana, tutur kata dan bahasa dijaga serta cara hidup yang saling menghargai satu dengan yang lainnya secara struktur adatiah. Yang salah akan dihakimi sendiri oleh alam.

Untuk mencapainya Kampung Lama Bampalola dari Kalabahi, Ibukota Kabupaten Alor, dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat menelusuri pesisir pantai ke arah barat menuju Desa Alor Kecil. Kemudian berputar ke arah utara menuju Gunung Hulnani. Setelah itu, berputar ke timur ke Desa Bampalola. Sampai di sana, pengunjung harus berjalan kaki menuju ke arah selatan menuju Kampung Lama Bampalola, setelah melewati karang terjal dengan kemiringan 90 derajat. berjalan kaki sejauh setengah kilo meter dan mendaki ke bukit bampalola setinggi kurang lebih 20–an meter. Meski begitu Bukit Kampung Lama Bampalola menyimpan sejuta pesona dan pemandangan alam yang luar biasa. Pasalnya, dari bukit yang suhu udaran agak basa tersebut terbentang Teluk Kabola bagai permadani di sebelah kiri, sementara sebelah kanannya dapat disaksikan jajaran pulau–pulau yang dikelilingi Selat Pantar dan Laut Sawu. Pemandangan alam yang luar biasa tersebut sejenak bisa melupakan kecapaian dan keletihan yang dialami.

Memasuki Bukit Kampung Lama Bampalola, angin sepoi–sepoi mulai memelas wajah dan hirupan udara segar seakan menambah semangan dan tenaga baru untuk melangkahkan kaki menuju perkampungan. Sebelum memasuki perkampungan, disebelah kanan terdapat sebuah rumah tembok kecil sebagai tempat pemakaman leluhur pertama yang mendiami tempat tersebut yang dinamakan Raja Tanah. Sejumlah pohon beringin tua menambah keangkeran dan kesunyian alam. Seakan membisikan bahwa tempat itu masih murni dan menolak dicemari ulah kotor manusia. Dari kejauhan mulai sayup–sayup terdengar bunyi gong dan tambur yang ditabuh sebagai irama tarian lego–lego dalam menyambut para tamu yang hadir.

Di lokasi perkampungan itulah berdiri beberapa rumah adat, namun yang menjadi pusat rumah adat adalah yang bernama Lakatuil, di mana di samping kanan rumah adat tersebut juga terdapat sebuah mezba sebagai tempat berlangsungnya upacara adat. Rumah Adat Lakatuil agak berbeda dengan rumah–rumah adat yang berada di Alor, maupun di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada umumnya. Lakatuil berupa rumah panggung berdinding bambu dan diatapi dengan rumput ilalang berbentuk kerucut. Pada bagian puncaknya berukiran naga yang sedang membuka mulut menjurus ke arah timur atau terbitnya matahari. Ciri khas yang lain adalah sebuah tangga yang menghubungkan tanah dengan rumah panggung juga berukirkan naga sementara membuka mulut pada bagian kanan, sementara bagian kiri terdapat sebuah rantai yang berfungsi sebagai pegangan tangan kiri.

Setiap pengunjung yang hendak memasuki rumah adat tersebut harus mengawali langkahnya dengan kaki kanan dan tangan kanan dimasukan ke dalam mulut naga sambil tangan kiri memegang rantai tali berjalan mmasuk melalui rumah panggung. Setelah memasuki rumah adat yang berukuran kurang lebih 9 x 9 m2, tinggi 10 meter tersebut diwajibkan keluar melalui pintu belakang dengan memegang sebuah rantai tali. Di dalam rumah adat juga sebagai tempat menyimpan benda–benda pusaka, seperti moko dan gong. Konon menurut sumber yang dipercaya terdapat sebuah gong asli. Moko adalah benda adat untuk belis perempuan dan berupa benda perundagian/ nekara yang terdiri dari berbagai ukuran setinggi satu meter ke bawah dan bermotif serta ada yang bertelinga dan ada pula yang tidak. Keluarga yang didaulat untuk tinggal dan menjaga warisan budaya itu adalah juga pemangku adat yang berasal dari Suku Sulung atau Suku Raja yang dalam bahasa setempat (Kabola) disebut Afeng Lelang, sementara rumah–rumah adat yang lain ditempati suku–suku, seperti Suku Kapitan (Lamuil Lelang), Marang Lelang (Ale Mate/ Foebe), Kafin Lelang, dan Suku Mor Lelang. Mereka semua hidup secara struktur adat dan pola dan tindak perilaku disesuaikan dengan aturan adat, di mana ada hal–hal yang boleh dibicarakan dan ada juga yang tidak perlu disampaikan (pemali).  Di samping kanannya Lakatuil terdapat sebuah mezba yang berfungsi sebagai tempat upacara adat dan tarian lego–lego diperagakan dalam sebuah upacara adat dan atraksi budaya. Salah seorang Tokoh Adat Bampalola, Muhammad Umar Demang, SH, MH, mengaku, bagi masyarakat Bampalola memasuki perkampungan adat harus menanggal kasut atau alas kaki, karena tempat itu suci (pemali) dan tidak boleh bicara kata–kata kotor, karena alam sendiri yang akan menghakimi. Juga tidak diperkenankan minum–minuman beralkohol, baik yang disediakan oleh pabrik maupun oleh penduduk local sendiri, seperti sopi, arak atau tuak. Umar Demang yang lama tinggal dan menjadi pengacara di Jakarta itu juga meminta Pihak Pemerintah Kabupaten Alor untuk memproteksi dengan berbagai aturan yang melindungi hak–hak masyarakat Bampalola agar terjaga warisan budayanya serta dapat mempromosikan menjadi sebuah asset wisata yang dapat dikunjungi wisatawan, baik mancanegara maupun domestik.

Sementara itu, Wakil Bupati Alor, Drs. H. Jusran Tahir pada Upacara Makan Baru Padi di Bampalola mengatakan, faktor keamanan menjadikan masyarakat Bampalola tinggal terpencil di sebuah bukit yang dikelilingi jurang terjal yang sulit dijangkau musuh bila ada perang.
Meskipun demikian dirinya merasa bangga karena masyarakat Bampalola yang telah juga berkembang menjadi sebuah desa telah mengalami berbagai kemajuan yang pesat termasuk mempertahankan nilai–nilai budaya dan agama yang telah lama dianut. Hal ini sangat berbeda dengan komunitas masyarakat di kota yang telah dicemari dengan pola perilaku yang tidak bermoral dan beretika serta beragama.

Masyarakat Bampalola adalah masyarakat yang masih hidup dengan nilai–nilai adat serta menyatu dengan kehidupan alam yang harmonis. Lewat simbol rumah adat dan aneka benda–benda purbakala serta berbagai jenis alat musik menambah daya mistis dan misteri yang belum tersingkat hingga kini. Namun, yang pasti hidup di sebuah bukit yang tidak ada sumber air itu mereka hidup dengan damai dan tenteram serta alam yang memberikan kemakmuran bagi anak cucu hingga kini dan banyak pula yang telah merantau dan menjadi sukses di negeri orang dan masih kembali dan membangun kampung dalam segala hal, termasuk menjadikan lokasi objek wisata budaya menjadi DTW yang bisa mendatangkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Alor. (gutav)

Tujuh Mobil Bantuan Kemen PDT Masih Digudangkan


Tujuh Mobil Bantuan Kemen PDT Masih Digudangkan

Nasib tujuh unit mobil jenis Mitsubishi L 300, bantuan Kementerian Daerah Tertinggal (Kemen PDT) kepada Kabupaten Alor melalui Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi (Diskominfo), hingga saat ini masih menjadi buah bibir. Belum beroperasinya tujuh unit kendaraan tersebut diduga disebabkan oleh belum lengkapnya surat-surat kendaraan semisal Bukti Pajak Kendaraan Bermotor (BPKB) oleh CV. Tanjung Kumbang sebagai rekanan pelaksana proyek.

Menurut rencana, ketujuh mobil tersebut akan dijadikan sarana transportasi umum untuk melayani masyarakat di wilayah-wilayah yang sulit terakses kendaraan umum dan dapat memobilisasi komoditi masyarakat dari kantong-kantong produksi ke pasar. Trayek tujuh unit kendaraan itu pun telah dirancang Diskominfo, yakni Pemerintah Kecamatan Pantar Barat Laut dan Pantar Tengah akan kebagian masing-masing satu unit sedangkan lima kendaraan lainnya akan melayani trayek Kalabahi-Kokar, Kalabahi-Otvai dan Kalabahi-Mainang. Namun rencana tersebut harus tertunda karena kendaraan belum dapat beroperasi.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek ini, Arbay Koho yang dikonfirmasi, Rabu (21/9) di ruang kerjanya, membenarkan hal tersebut. Proyek bantuan Kem PDT tahun anggaran 2010 dengan total dana Rp1 milyar lebih itu telah dilelang dan dimenangkan CV. Tanjung Kumbang. Kontrak yang ditandatangani pun menyebutkan kendaraan diterima dalam kondisi siap beroperasi. Itu berarti surat-surat kendaraan pun harus dilengkapi barulah diserahterimakan rekanan kepada pemerintah. Uniknya, meski surat-surat kendaraan semisal surat ijin usaha, buku kir dan ijin trayek belum dilengkapi namun secara internal telah dilakukan profesional hand over (serahterima) kepada panitia PHO yang dibentuk secara internal di Diskominfo pada bulan Februari 2011 silam.

Namun kendaraan-kendaraan tersebut belum beroperasi karena belum dilengkapi surat-surat kendaraan bermotor oleh rekaanan pemenang tender. Hal ini dipicu oleh regulasi terbaru terkait pajak yang harus dilunasi rekanan. Pada saat penandatangan kontrak, masih berlaku regulasi sebelumnya, yakni pajak yang dikenakan sebesar 10 persen dari nilai kontrak. Namun dalam perjalanannya, terjadi perubahan regulasi melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur NTT Nomor 2 Tahun 2010, kost pembiayaan pajak yang harus disetor rekanan mengalami kenaikan sebesar 15 persen. Akibatnya, kata Koho, terjadi selisih kurang lebih Rp40 juta.
"Awalnya pajak yang harus dibayar rekanan untuk tujuh kendaraan tersebut sebesar Rp114 juta lebih. Namun karena perubahan regulasi, pajak yang harus disetor menjadi Rp 150 juta lebih. Inilah yang tidak disanggupi rekanan karena terjadi selisih kurang lebih Rp40 juta lebih,"terangnya.

Menurut Koho, rekanan pun keberatan sehingga solusi yang ditempuh menunggu hasil audit dan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT. Setelah dilakukan audit, BPK merekomendasikan agar dananya disetor kembali ke kas daerah. SEtelah disetor ke kas daerah, perubahan biaya pengurusan surat-surat ketujuh kendaraan tersebut termasuk Biaya Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) akan dianggarkan kembali dalam APBD Perubahan 2011 dan besar kemungkinan akan langsung ditangani Diskominfo.

Sementara itu, Direktur CV. Tanjung Kumbang, Jubir Taru, mengaku telah menyetor kembali biaya pengurusan surat-surat ke kas daerah sesuai rekomendasi BPK. Kini, beroperasi atau tidaknya ketujuh kendaraan tersebut akan sangat bergantung pada APBD Perubahan 2011. Jika tidak direstui Dewan Perwakilan Rakyat DAerah (DPRD) yang memiliki hak budjet, akan semakin lama mobil-mobil ini digudangkan.(gustav)

Bunga Pinjaman KSU Budiarta Dinilai Mencekik Nasabah


Bunga Pinjaman KSU Budiarta Dinilai Mencekik Nasabah

Bunga pinjaman yang dipatok Koperasi Serba Usaha (KSU) Budiarta sebesar 20 persen per bulan, dinilai mencekik nasabah (peminjam). Pasalnya, selain terlampau tinggi, kebijakan koperasi juga dinilai membebani nasabah dari kalangan masyarakat miskin.

Kondisi ini dikeluhankan salah seorang tokoh masyarakat Desa Tribur, Kecamatan Alor Barat Daya, Orgenis Morib kepada SUAR di Moru belum lama ini. Morib yang juga salah seorang kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Desa Tribur, Kecamatan Alor Barat Daya ini tak dapat memungkiri jika kebijakan KSU Budiarta melakukan ekspansi dan melebarkan sayapnya di Buraga, untuk masyarakat Desa Tribur dan sekitarnya yang mengalami kesulitan keuangan dan memerlukan bantuan cepat dan mudah prosesnya.

Kehadiran koperasi ini sangat membantu masyarakat terutama mereka yang membutuhkan uang dalam waktu yang relatif cepat. Namun bunga 20 persen per bulan yang dipatok untuk setiap peminjam dinilai membebani masyarakat terutama mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Bahkan Morib menilai, kebijakan mematok bunga yang terlampau tinggi, dinilai hanya berorientasi memperoleh provit (keuntungan) sebanyak-banyaknya dan mengabaikan perinsip-perinsip dasar koperasi, yakni kegotong-royongaan dan saling membantu dalam kesulitan. Dia merinci, jika seseorang meminjam Rp100 ribu, maka kewajiban pengembalian yang harus diberikan nasabah untuk jangka waktu satu minggu, pokok ditambah bunga pinjaman menjadi sebesar Rp120 ribu.
"Jika meminjam Rp1 juta dan dikembalikan dalam jangka waktu satu minggu maka pokok ditambah bunga yang harus dikembalikan nasabah sebesar Rp1,2 juta,"terang Morib.

Kebijakan tersebut dinilai Morib sangat membebani nasabah terutama mereka yang datang dari kalangan berpenghasilan pas-pasan. Mestinya, tegas Morib, koperasi membantu masyarakat dan bukannya membebani dengan patokan bunga yang terlampau tinggi. Dia berharap manajemen koperasi tidak hanya sekedar mengejar provit namun kebijakan itu bisa membantu masyarakat miskin terutama yang memerlukan uang dalam waktu yang cepat demi membiayai kebutuhan anak sekolah. Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah Kabupaten Alor diminta Morib agar mengawasi semua KSU di Kabupaten Alor agar tidak mematok bunga pinjaman yang membebani masyarakat miskin.

Ketua KSU Budiarta, Mulyawan Djawa, yang dikonfirmasi di kediamannya belum lama ini mengaku, bunga pinjaman di KSU Budiarta yang dipatok 20 persen adalah keputusan semua anggota koperasi dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT), bukan keputusan sepihak orang-orang tertentu. Akan tetapi bunga 20 persen pun berlaku untuk jangka waktu pengembalian 30 hari, bukan seminggu sebagaimana dikemukakan warga. Jika bunga yang dipatok dianggap membebani nasabah, Mulyawan menganjurkan agar masyarakat tidak memilih KSU Budiarta untuk meminjam uang.
"Jika dianggap bunga yang dipatok terlalu tinggi, yah jangan meminjam uang di koperasi (KSU Budiarta, red). Kebijakan tersebut merupakan hasil keputusan RAT bukan kesepakatan orang-orang tertentu di KSU Budiarta,"pintanya.

Meski demikian, dia pun mengaku kalau bunga pinjaman 20 persen sangatlah membebani terutama masyarakat miskin. Namun untuk merubah kebijakan tersebut harus diputuskan dalam RAT yang merupakan forim tertinggi dalam sebuah koperasi.
"Saya pun merasa kalau bunga pinjaman 20 persen sangat membebani masyarakat. Tetapi untuk merubahnya harus diputuskan bersama anggota koperasi melalui RAT,"terang Mulyawan sembari berjanji akan mengevaluasi kebijakan tersebut dalam forum RAT mendatang. (gustav)

Anggota DPRD Tak Berhak Sewa Beli Kendaraan Dinas


Tahu Diri Dooong.....!
Mobil Dinas DPRD Alor
Anggota DPRD Tak Berhak Sewa Beli Kendaraan Dinas

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak berhak melakukan sewa beli kendaraan oprasional. Jika terjadi proses sewa beli lima buah mobil operasional, maka langkah tersebut telah bertentangan dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.


Kebijakan ini rupanya mengusik anggota Komisi A DPRD Alor, Jonathan Mokay. Sebagaimana dikemukakan Komisi C DPRD Alor dalam laporannya tentang pembahasan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD 2010, kelima unit operasional DPRD yang kini digunakan, Hermanto Djahamouw SH, Sulaiman Singh SH, Matias Lily, Mulyawan Djawa dan Seprianus Kaminukan BA, telah disewabelikan. Untuk itu Komisi C meminta pemerintah agar kelima mobil operasional yang telah disewabelikan anggota Dewan, segera dilengkapi dengan surat-surat yang memadai.

Selain ketentuan yang melarang anggota Dewan melakukan sewa beli, juga usia mobil yang belum memenuhi syarat ketentuan minimal berusia lima tahun. Bukan hanya itu, menurut Mokay, penggunaan lima unit mobil operasional DPRD jenis Zusuki APV tahun pengadaan 2005 ini pun telah menyalahi ketentuan. 

Kebijakan tersebut bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD menegaskan, pimpinan DPRD disediakan masing-masing satu unit kendaraan dinas jabatan dan belanja pemeliharaan kendaraan dinas jabatan dibebankan pada APBD. Juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), karena di dalamnya hanya disebutkan fraksi-fraksi DPRD dilengkapi dengan sebuah sekretariat, tetapi tidak disebutkan kendaraan operasional.




Selanjutnya, dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tentang dirincikan, sekretariat fraksi difasilitasi alat tulis kantor (ATK), bukan mobil untuk kegiatan operasional.

“Maka penggunaan operasional yang saat ini berada di tangan para pimpinan fraksi telah menyalahi ketentuan,”terang Mokay.


Menurut dia, kendaraan operasional DPRD sebagaimana dimaksudkan dalam Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, kendaraan operasional adalah kendaraan yang dapat dipinjam pakai kepada alat kelengkapan DPRD dan fraksi bukanlah alat kelengkapan. Pinjam pakai berarti setelah dipakai, kembalikan ke Sekretariat DPRD, bukan diparkir di rumah masing-masing anggota Dewan, sebagaimana layaknya kendaraan dinas jabatan. Itu pun kata dia, status penggunaannya pun harus diatur dengan keputusan kepala daerah. Mokay meminta agar pemerintah segera menertibkan aset milik daerah, yang dimulai dari Sekretariat DPRD.

“Kalau di tubuh DPRD sendiri belum bisa ditertibkan, bagaimana mungkin bisa mengawasi instansi yang lain. Fungsi pengawasan akan tersandra dengan sendirinya karena Dewan tidak mampu melakukan pengawasan terhadap dirinya sendiri,”tandasnya.

Menurut Mokay, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan NTT dalam rekomendasinya meminta agar Pemkab Alor menertibkan seluruh aset milik pemerintah. Sebagai wakil rakyat, Mokay meminta agar penertiban itu dimulai dari lembaga DPRD. (gustav)

Selasa, 27 September 2011

Empat Desa Dambakan Air


Empat Desa Dambakan Air
Gudang sebagai simbol adat istiadat kab.Alor

Kupidil, SUAR – Listrik dan jalan merupakan kebutuhan mendasar setelah peradaban manusia berkembang. Namun tidak bagi air bersih. Air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat tergeser. Sehari tanpa air akibatnya lebih fatal bila sehari tanpa makanan.
Desa Kupidil, Desa Lawahing, Desa Otvai dan Desa Alila Selatan merupakan 4 desa di pegunungan Kabola yang sampai saat ini belum menikmati air bersih bahkan keadaan itu telah dialami bertahun-tahun. Padahal kebutuhan air bersih di Kota Kalabahi disuplai oleh desa-desa yang telah disebutkan di atas. Sehingga sungguh ironis kalau desa-desa tersebut mengalami kekurangan air bersih.
Kondisi tersebut diperparah oleh tidak adanya pelayanan air bersih oleh PDAM ke desa-desa tersebut selama ±4 tahun. Sehingga bak-bak penampung yang dulunya dimanfaatkan untuk menampung air dari PDAM hanya berfungsih ketika musim hujan tiba. Namun, karena bak-bak tersebut menganggur pada musim kemarau, maka tidak sedikit bak penampung yang retak sehingga harus ditambal agar dapat menadah air hujan pada musim hujan.
Menyadari akan kekurangan air, masyarakat ke-4 desa menyianyati dengan mengambil air dari Kalabahi menggunakan kendaraan. Namun adalah mudah bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi. Sedangkan yang tidak memilikinya, maka satu-satunya cara adalah menggunakan transportasi umum atau menggunakan jasa ojek.
Kepala Desa Kupidil, Onesimus Maoulaka dan Ketua Badan Permusyarawaratan Desa (BPD) Kupidil, Hermanus Awalaa belum lama ini mengatakan, khusus di Desa Kupidil, masyarakat menadah air di Hingyele. Perlu diketahui bahwa di Hingyele tersebut debit airnya sangat terbatas. Bayangkan saja, berdasarkan pantauan, airnya berkapur dan jatuh menetes sedikti demi sedikit dari kuncup batu yang menggantung. Tetesan itulah yang ditadah oleh masyarakat di Desa Kupidil untuk keperluan air bersih. Karena debit airnya terbatas, maka untuk mendapatkan 5 liter air bersih saja waktu yang diperlukan mendekati 1 jam. Selain itu, untuk mendapatkan kesempatan menadah air masyarakat harus rela mengantri berjam-jam karena semua masyarakat Desa Kupidil menjadikan Hingyele sebagai satu-satunya tempat di mana air bersih diperoleh.

Utamakan Air

Keprihatinan terhadap kesulitan air bersih ke-4 desa di atas telah lama dikeluhkan masyarakat. Namun sejauh ini, keluhan-keluhan tersebut sama sekali tidak mendapat tanggapan. Padahal, menurut Hermanus Awalaa, setiap memasuki moment-moment Pemilu Legislatif atau PemuliKada, masyarakat selalu dijanjikan oleh orang-orang tertentu bahwa kebutuhan dasar masyarakat akan diupayakan solusinya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun setelah terpilih, pejabat-pejabat itu seakan melupakan janji yang pernah disampaikannya.
Kamis, (18/08/2011) di Desa Kupidil, Ikatan Mahasiswa Kepala Burung (IMKB) memfasilitasi pertemuan 4 Kepdes yang mengalami persoalan yang sama yakni Onesimus Maoulaka sebagai Kepdes Kupidil;  Kepdes Lawahing, Yohanis Outang; Kepdes Otvai, Alelang; dan Kepdes Alila Selatan, Dahlan Umar untuk menyesuaikan kebutuhan mendasar ke-4 desa yang belum diperhatikan pemerintah. Dari pertemuan tersebut disepakati 3 kebutuhan dasar yang secara bersama dialami oleh masyarakat ke-4 desa. Ke-3 kebutuhan dasar tersebut adalah air bersih, listrik dan jalan raya. Namun, lanjut Hermanus, dari ketiga kebutuhan dasar tersebut, air bersih disepakati untuk diprioritaskan. Perlu diketahui, sumber mata air yang disepakati untuk dimanfaatkan adalah mata air yang berada di dekat omtel Desa Otvai. Kini, yang menjadi persoalan adalah bagaimana air tersebut dapat sampai ke rumah-rumah penduduk setempat. Menurut Hermanus, persoalan ini segera akan disampaikan kepada pemerintah untuk diatasi. cha

Senin, 26 September 2011

Dewan Adat Berencana Gugat Kementrian Kehutanan RI ?


Dewan Adat Berencana Gugat Kementrian Kehutanan RI ?

Sumber Mata Air Panas Tuti Adagai di Kecamatan Alor Timur Laut

Serenglang, SUAR – Kebebasan masyarakat adat dalam memanfaatkan tanah ulayat telah lama dibatasi oleh pemerintah. Sikap pemerintah tersebut memantik sejumlah reaksi dari masyarakat adat yang sebagian wilayahnya diklaim menjadi hutan kawasan. Oleh sebagian orang, keresahan masyarakat seusia dengan pengkaplingan sepihak yang dilakukan pemerintah khususnya kementrian kehutanan terhadap hak ulayat.
Dalam perkembangannya, eksistensi kebijakan sepihak tersebut mulai terganggu oleh kesadaran masyarakat adat yang terus meningkat. Jika ditilik, kesadaran tersebut tidak hanya dilatarbelakangi oleh pendidikan tetapi lebih diakibatkan oleh situasi sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Masyarakat telah gerah dengan batasan-batasan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pemanfaatan hak ulayat. Sebagai misal, untuk menebang pohon di lahan miliknya, masyarakat yang bersangkutan harus memperoleh izin dari pihak berwajib jika tidak ingin berlarut-larut dalam urusan hukum. Ironisnya lagi, tidak sedikit pemukiman masyarakat yang masuk dalam hutan kawasan. Sehingga sewaktu-waktu masyarakat di wilayah yang diklaim pemerintah dapat dievakuasi.
Berdasarkan pemikiran itu, sebagai pemilik ide dasar, Pdt. Philipus Tande dan Marthen Maure, SH, membentuk Forum Masyarakat Adat di Kecamtan Alor Timur Laut (ATL). Lewat panitia, Forum Masyarakat Adat ATL akan melakukan Temu Kampung Masyarakat Adat (Tekad) Kabupaten Alor pada tanggal 10 september di Tipiting, Desa Air Mancur, Kecamatan ATL. Kegiatan yang akan dibuka oleh Bupati Alor, Drs. Simeon Th. Pally itu akan diikuti oleh seluruh tokoh adat sekabupaten Alor.
Menyangkut Temu Adat Masyarakat Kampung Kabupaten Alor itu, Pdt. Philipus Tande dan Ketua Panitia, Abdon Frare, menghimbau kepada seluruh tokoh–tokoh adat di Kabupaten Alor untuk mengikuti Temu Kampung Masyarakat Adat yang akan dilaksanakan itu. Sebab, selain memperkuat solidaritas masyarakat adat, kebijakan-kebijakan strategis dapat dihasilkan bila semua tokoh adat turut berpartisipasi. Sasaran kegiatan ini, lanjutnya, khusus membahas strategi dalam menyatukan konsep bersama yang nantinya dijadikan rekomendasi kepada Kementrian Kehutanan. Intinya adalah menuntut Kementrian Kehutanan agar mengembalikan hak ulayat kepada masyarakat.
Selain itu, secara terpisah, Marthen Maure,SH menjelaskan, bahwa mekanisme penetapan hak ulayat saat itu tidak melalui persetujuan dewan adat. Oleh sebab itu, Temu Kampung Masyarakat Adat akan menggunakan celah itu untuk menuntut Kementrian Kehutanan agar dapat mengembalikan hak ulayat masyarakat adat. Setelah dikembalikan, maka dewan adat akan menyepakati (kesepakatan di tingkat suku) areal-areal mana yang akan dijadikan sebagai hutan kawasan.  Namun sekiranya perjuangan ini tidak digubris, maka temu kampung masyarakat adat akan menempuh jalur hukum. cha